Macam-macam Limbah dan Bahaya Limbah
Macam-macam Limbah dan Bahaya Limbah - Penting untuk
memiliki pengetahuan tentang berbagai jenis limbah yang berbaya, terutama
limbah yang membahayakan kehidupan manusia. Tidak hanya itu lingkungan yang
menjadi tempat tinggal baik bagi manusia dan hewan juga harus bersih dari
limbah yang berhaya. Dengan demikian ekosistem dapat berjalan dengan baik.
Terdapat materi
yang membahas tentang khusus tentang limbah yang ada disekolah, tidak hanya itu
praktek secara langsung di luar kelas untuk meneliti tentang jenis-jenis
limbah, sumber limbah yang berbaya juga dilakukan guna memberikan pengetahuan
bagi siswa tentang bahaya limbah bagi kelangsungan hidup manusia
Macam-macam Limbah dan Bahaya Limbah |
Macam-macam Limbah dan Bahaya Limbah
Apabila dibedakan
dari sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:
- Primary sludge, yaitu barang sisa yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal. Limbah atau bahan sisa ini banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap.
- Chemical sludge, yaitu bahan sisa yang dihasilkan dari kegiatan koagulasi dan flokulasi.
- Excess activated sludge, yaitu bahan siswa yang berasal dari kegiatan pengolahan dengn lumpur aktif oleh karena itu banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut.
- Digested sludge, yaitu bahan siswa yang berasal dari proses biologi dengan digested aerobic maupun anaerobic di mana padatan atau lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik.
Jenis Limbah
B3 dikategorikan berasal dari
beberapa parameter yaitu
- total solids residue (TSR),
- kandungan fixed residue (FR),
- kandungan volatile solids (VR),
- kadar air (sludge moisture content),
- volume padatan,
- serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat mudah meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).
Berikut ini
adalah Contoh limbah BAHAN BERACUN BERBAHAYA (B3) ialah logam berat
seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia seperti
pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur
dan limbah industri kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri
klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan, industri kertas, serta
pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan
accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi
rendah. Daftar lengkap limbah BAHAN BERACUN BERBAHAYA (B3) dapat dilihat di PP
No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (BAHAN
BERACUN BERBAHAYA (B3)). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang
juga mencakup peraturan resmi dari Pemerintah Indonesia.
2. Limbah Logam Berat Beracun di Perairan
Logam berat adalah unsur-unsur kimia dengan bobot jenis
lebih besar dari 5 gr/cm3, terletak di sudut kanan bawah sistem periodik,
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur S dan biasanya bernomor atom 22
sampai 92 dari perioda 4 sampai 7 (Miettinen, 1977). Sebagian logam berat
seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), dan merkuri (Hg) merupakan zat pencemar yang
berbahaya. Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini
menyerang ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak
aktif. Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam
berat. Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang
menghambat proses transpormasi melalui dinding sel. Logam berat juga
mengendapkan senyawa fosfat biologis atau mengkatalis penguraiannya (Manahan, 1977).
Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau
daya racun logam berat terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke
rendah) sebagai berikut merkuri (Hg), kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam
(Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt (Co) (Sutamihardja dkk, 1982). Menurut
Darmono (1995) daftar urutan toksisitas logam paling tinggi ke paling rendah
terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+
>Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+ Sn2+ > Zn2+. Sedangkan
menurut Kementrian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1990) sifat
toksisitas logam berat dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu bersifat
toksik tinggi yang terdiri dari atas
unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur
Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe.
Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara
langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung
terhadap kesehatan manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat (
PPLH-IPB, 1997; Sutamihardja dkk, 1982) yaitu :
Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam
lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan) Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan,
dan akan membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya
selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air.
Disamping itu sedimen
mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam
yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber pencemar
potensial dalam skala waktu tertentu. Kadmium dalam air berasal dari pembuangan industri dan
limbah pertambangan. Logam ini sering digunakan sebagai pigmen pada keramik,
dalam penyepuhan listrik, pada pembuatan alloy, dan baterai alkali. Keracunan
kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat
ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan
pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada
tulang (Clarkson, 1988; dan Saeni,
1997).
Tembaga merupakan logam yang ditemukan dialam dalam bentuk
senyawa dengan sulfida (CuS). Tembaga sering digunakan pada pabrik-pabrik yang
memproduksi peralatan listrik, gelas , dan alloy. Tembaga masuk keperairan
merupakan faktor alamiah seperti terjadinya pengikisan dari batuan mineral
sehingga terdapat debu, partikel-partikel tembaga yang terdapat dalam lapisan
udara akan terbawa oleh hujan. Tembaga juga berasal dari buangan bahan yang
mengandung tembaga seperti dari industri galangan kapal, industri pengolahan
kayu, dan limbah domestik.
Pada konsentrasi 2,3
– 2,5 mg/l dapat mematikan ikan dan akan menimbulkan efek keracunan, yaitu
kerusakan pada selaput lendir (Saeni, 1997). Tembaga dalam tubuh berfungsi
sebagai sintesa hemoglobin dan tidak mudah dieksresikan dalam urine karena sebagian terikat dengan
protein, sebagian dieksresikan melalui empedu ke dalam usus dan dibuang kefeses,
sebagian lagi menumpuk dalam hati dan ginjal, sehingga menyebabkan penyakit
anemia dan tuberkulosis.
Logam timbal (Pb) berasal dari buangan industri metalurgi,
yang bersifat racun dalam bentuk Pb-arsenat. Dapat juga berasal dari proses
korosi lead bearing alloys. Kadang-kadang terdapat dalam bentuk kompleks dengan
zat organik seperti hexaetil timbal, dan tetra alkil lead (TAL) (Iqbal dan
Qadir, 1990)
Pada hewan dan manusia timbal dapat masuk ke dalam tubuh
melalui makanan dan minuman yang dikomsumsi serta melalui pernapasan dan
penetrasi pada kulit. Di dalam tubuh manusia, timbal dapat menghambat aktifitas
enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan
penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah
kurangnya nafsu makan, kejang, kolik khusus, muntah dan pusing-pusing. Timbal
dapat juga menyerang susunan saraf dan mengganggu sistem reproduksi, kelainan
ginjal, dan kelainan jiwa (Iqbal dkk 1990; Pallar, 1994)
3. Limbah Udang sebagai Material Penyerap Logam Berat
Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan
ekornya. Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan
invertebrata) yaitu sebagai pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit udang
mengandung protein (25 % – 40%), kalsium karbonat (45% – 50%), dan khitin (15%
– 20%), tetapi besarnya kandungan komponen tersebut tergantung pada jenis
udangnya. sedangkan kulit kepiting mengandung protein (15,60% – 23,90%),
kalsium karbonat (53,70 – 78,40%), dan khitin (18,70% – 32,20%), hal ini juga
tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya (Focher et al., 1992).
Kandungan khitin dalam kulit udang lebih sedikit dari kulit kepiting, tetapi
kulit udang lebih mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai
limbah.
Khitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai
besi, pertama kali diteliti oleh Bracanot pada tahun 1811 dalam residu ekstrak
jamur yang dinamakan fungiue. Pada tahun 1823 Odins mengisolasi suatu senyawa
kutikula serangga janis ekstra yang disebut dengan nama khitin (Neely dan
Wiliam, 1969). Khitin merupakan konstituen organik yang sangat penting pada
hewan golongan orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa, dan nematoda. Khitin
biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan
kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus, dan
pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Neely dan Wiliam, 1969). Adanya khitin
dapat dideteksi dengan reaksi warna Van Wesslink. Pada cara ini khitin
direaksikan dengan I2-KI yang memberikan warna coklat, kemudian jika
ditambahkan asam sulfat berubah warnanya menjadi violet. Perubahan warna dari
coklat hingga menjadi violet menunjukan reaksi positif adanya khitin.
Khitin termasuk golongan polisakarida yang mempunyai berat
molekul tinggi dan merupakan melekul polimer berantai lurus dengan nama lain
-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa (N-asetil-D-Glukosamin) (Hirano,b 1986;
Tokura, 1995). Struktur khitin sama dengan selulosa dimana ikatan yang terjadi
antara monomernya terangkai dengan ikatan glikosida pada -(1-4). Perbedaannya
dengan selulosa adalah gugus hidroksil yangbposisi terikat pada atom karbon yang kedua pada
khitin diganti oleh gugus asetamida (NHCOCH2) sehingga khitin menjadi sebuah
polimer berunit N-asetilglukosamin (The Merck Indek, 1976).
Khitin mempunyai rumus molekul C18H26N2O10 (Hirano, 1976)
merupakan zat padat yang tak berbentuk (amorphous), tak larut dalam air, asam
anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut organik lainnya
tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Khitin kurang larut
dibandingkan dengan selulosa dan merupakan N-glukosamin yang terdeasetilasi
sedikit, sedangkan khitosan adalah khitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin.
-1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosabKhitosan yang disebut juga
dengan merupakan turunan dari khitin
melalui proses deasetilasi. Khitosan juga merupakan suatu polimer multifungsi
karena mengandung tiga jenis gugus fungsi yaitu asam amino, gugus hidroksil
primer dan skunder. Adanya gugus fungsi ini menyebabkan khitosan mempunyai
kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura, 1995).
Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air,
larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3 PO4, dan tidak
larut dalam H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan
bersifat polielektrolitik (Hirano, 1986). Disamping itu khitosan dapat dengan
mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena
itu, khitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri
terapan dan induistri kesehatan (Muzzarelli, 1986). Saat ini budi daya udang
dengan tambak telah berkembang dengan pesat, karena udang merupakan komoditi
ekspor yang dapat dihandalkan dalam meningkatkan ekspor non -migas dan
merupakan salah satu jenis biota laut yang bernilai ekonomis tinggi. Udang di
Indonesia pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku yang telah dibuang
bagian kepala, kulit, dan ekornya.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan
udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30% – 75% dari berat udang.
Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolahan udang cukup
tinggi (Anonim, 1994). Limbah kulit udang mengandung konstituen utama yang
terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan lain-lain
(Anonim, 1994). Meningkatnya jumlah limbah udang masih merupakan masalah yang
perlu dicarikan upaya pemanfaatannya. Hal ini bukan saja memberikan nilai
tambah pada usaha pengolahan udang, akan tetapi juga dapat menanggulangi
masalah pencemaran lingkungan yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang
dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang bagus (Manjang, 1993). Saat
ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah termanfaatkan dalam hal
pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan pencampur pakan ternak.
Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah
dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan
khitosan. Manfaatnya di berbagai
industri modern banyak sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi,
biomedikal, pangan, kertas, tekstil, pertanian, dan kesehatan. Khitin dan
khitosan serta turunannya mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi
dan penebal emulsi (Lang, 1995).
Isolasi khitin dari limbah kulit udang dilakukan secara
bertahap yaitu tahap pemisahan protein (deproteinasi) dengan larutan basa,
demineralisasi, tahap pemutihan (bleancing) dengan aseton dan natrium
hipoklorit. Sedangkan transformasi khitin menjadi khitosan dilakukan tahap
deasetilasi dengan basa berkonsentrasi tinggi, seperti terlihat pada gambar 1
(Ferrer et al., 1996; Arreneuz, 1996., dan Fahmi, 1997). Khitin dan khitosan
yang diperoleh dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben untuk
menyerap ion kadmium, tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan mengatur
kondisi penyerapan sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang
bebas dari ion-ion logam berat. Mengingat besarnya manfaat dari senyawa khitin
dan khitosan serta tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka
perlu pengkajian dan pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap
terhadap logam-logam berat diperairan.
4. Limbah Deterjen
Deterjen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah tangga
sampai industri. Deterjen umumnya tersusun atas lima jenis bahan penyusun,
yaitu :
surfaktan, yang merupakan senyawa Alkyl Bensen Sulfonat
(ABS) yang berfungsi untuk mengangkat kotoran pada pakaian. ABS memiliki sifat
tahan terhadap penguraian oleh mikroorganisme (nonbiodegradable).
senyawa fosfat (bahan pengisi), yang mencegah menempelnya
kembali kotoran pada bahan yang sedang dicuci. Senyawa fosfat digunakan oleh
semua merk deterjen memberikan andil yang cukup besar terhadap terjadinya
proses eutrofikasi yang menyebabkan Booming Algae (meledaknya populasi tanaman
air)
Pemutih dan pewangi (bahan pembantu), zat pemutih umumnya
terdiri dari zat natrium karbonat. Menurut hasil riset organisasi konsumen
Malaysia (CAP) Pemutih dapat menimbulkan kanker pada manusia. sedangkan untuk
penwangi lebih banyak merugikan konsumen karena bahan ini membuat makin
tingginya biaya produksi, sehingga harga jual produk semakin mahal. Padahal zat
pewangi tidak ada kaitannya dengan kemampuan mencuci.
bahan penimbul busa, yang sebenarnya tidak diperlukan dalam
proses pencucian dan tidak ada hubungan antara daya bersih dengan busa yang
melimpah.
Fluorescent, berguna untuk membuat pakaian lebih cemerlang.
Menurut Asosiasi Pengusaha Deterjen Indonesia (APEDI),
surfaktan anionik yang digunakan di Indonesia saat ini adalah alkyl benzene
sulfonate rantai bercabang (ABS) sebesar 40% dan alkyl benzene sulfonate rantai
lurus (LAS) sebesar 60%. Dibandingkan dengan LAS, ABS merupakan senyawa yang
lebih sukar terurai secara alami. Oleh karenanya, pada banyak negara di dunia
penggunaan ABS telah dilarang dan diganti dengan LAS. Sedangkan di Indonesia,
peraturan mengenai larangan penggunaan ABS belum ada. Beberapa alasan masih
digunakannya ABS dalam produk deterjen, antara lain karena : harganya murah,
kestabilannya dalam bentuk krim pasta dan busanya melimpah.
Penggunaan deterjen dapat mempunyai risiko bagi kesehatan
dan lingkungan. Risiko deterjen yang paling ringan pada manusia berupa iritasi
(panas, gatal bahkan mengelupas) pada kulit terutama di daerah yang bersentuhan
langsung dengan produk. Hal ini disebabkan karena kebanyakan produk deterjen
yang beredar saat ini memiliki derajat keasaman (pH) tinggi. Dalam kondisi
iritasi/terluka, penggunaan produk penghalus apalagi yang mengandung pewangi,
justru akan membuat iritasi kulit semakin parah.
Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi
limbah deterjen berpotensi sebagai salah satu penyebab penyakit kanker
(karsinogenik). Proses penguraian deterjen akan menghasilkan sisa benzena yang
apabila bereaksi dengan klor akan membentuk senyawa klorobenzena yang sangat
berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat mungkin terjadi pada pengolahan air
minum, mengingat digunakannya kaporit (dimana di dalamnya terkandung klor)
sebagai pembunuh kuman pada proses klorinasi. Saat ini, instalasi pengolahan
air milik PAM dan juga instalasi pengolahan air limbah industri belum mempunyai
teknologi yang mampu mengolah limbah deterjen secara sempurna.
Penggunaan fosfat sebagai builder dalam deterjen perlu
ditinjau kembali, mengingat senyawa ini dapat menjadi salah satu penyebab
proses eutrofikasi (pengkayaan unsur hara yang berlebihan) pada sungai/danau
yang ditandai oleh ledakan pertumbuhan algae dan eceng gondok yang secara tidak
langsung dapat membahayakan biota air dan lingkungan. Di beberapa negara Eropa,
penggunaan fosfat telah dilarang dan diganti dengan senyawa substitusi yang
relatif lebih ramah lingkungan.
Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, konsumen
mempunyai hak untuk memperoleh informasi suatu produk secara jelas, hak untuk
memilih dan hak untuk menuntut/menggugat produsen apabila produk mereka tidak
sesuai dengan klaimnya Berkaitan dengan hak konsumen tersebut, diperlukan
transparansi dari produsen mengenai kandungan produk deterjen yang
dihasilkannya dalam bentuk pelabelan komposisi bahan baku.
Persepsi masyarakat bahwa deterjen yang menghasilkan busa
melimpah mempunyai daya cuci yang baik adalah tidak benar. Untuk merubah
persepsi tersebut, diperlukan partisipasi baik dari pihak konsumen maupun
produsen. Di satu pihak, konsumenharus tahu bahwa tidak ada kaitan antara daya
cuci dan busa melimpah. Di lain pihak, produsen seharusnya tidak lagi
menggunakan “busa melimpah” dalam mempromosikan produknya.
Produksi deterjen Indonesia rata-rata per tahun sebesar 380
ribu ton. Sedangkan tingkat konsumsinya, menurut hasil survey yang dilakukan
oleh Pusat Audit Teknologi di wilayah Jabotabek pada tahun 2002, per kapita
rata-rata sebesar 8,232 kg.
Regulasi yang berkaitan dengan deterjen di Indonesia masih
belum sepenuhnya mengakomodasi aspek lingkungan. Standar, sebagai salah satu
produk regulasi, yang berlaku sekarang dan digunakan sebagai acuan bagi produk
deterjen sudah berumur lebih dari 15 tahun dan tidak sesuai lagi dengan
tuntutan produk yang berwawasan lingkungan, sehingga perlu direvisi, seiring
dengan perkembangan teknologi dan perkembangan baku mutu lingkungan.
5. Limbah Tinja
Bagian yang paling berbahaya dari limbah domestik adalah
mikroorganisme patogen yang terkandung dalam tinja, karena dapat menularkan
beragam penyakit bila masuk tubuh manusia, dalam 1 gram tinja mengandung 1
milyar partikel virus infektif, yang mampu bertahan hidup selama beberapa
minggu pada suhu dibawah 10 derajat Celcius. Terdapat 4 mikroorganisme patogen
yang terkandung dalam tinja yaitu : virus, Protozoa, cacing dan bakteri yang
umumnya diwakili oleh jenis Escherichia coli (E-coli). Menurut catatan badan
Kesehatan dunia (WHO) melaporkan bahwa air limbah domestik yang belum diolah
memiliki kandungan virus sebesar 100.000 partikel virus infektif setiap
liternya, lebih dari 120 jenis virus patogen yang terkandung dalam air seni dan
tinja. Sebagian besar virus patogen ini tidak memberikan gejala yang jelas
sehingga sulit dilacak penyebabnya.
Saat ini E-coli adalah mikroorganisme yang mengancam Kali
Mas. Bakteri penghuni usus manusia dan hewan berdarah panas ini telah
mengkontaminasi badan air Kali Mas, dari Kajian Dhani Arnantha staf peneliti
Lembaga kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah menyebutkan bahwa di Hulu
Kali Mas tepatnya di daerah Ngagel jumlah E-coli dalam 100 ml air Kali Mas
mencapai 350 milyar – 1600 milyar padahal dalam baku mutu yang ditetapkan
oleh Pemerintah dalam PP 82/2001 tentang Pengendalian Limbah cair menyebutkan
bahwa badan air yang dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum seperti Kali Mas
kandungan E-coli dalam 100 ml air tidak boleh lebih dari 10.000.
Setelah tinja memasuki badan air, E-coli akan
mengkontaminasi perairan, bahkan pada kondisi tertentu E-coli dapat mengalahkan
mekanisme pertahanan tubuh dan dapat tinggal di dalam pelvix ginjal dan hati.
Tingginya tingkat pencemaran domestik Kali Mas memberikan
dampak yang signifikan terhadap kualitas kesehatan masyarakat yang tinggal
disepanjang bantaran Kali Mas, hal ini merujuk pada data yang dikeluarkan oleh
Paguyuban Kanker Anak Jawa Timur RSUD Dr Soetomo Oktober 2003 yang menyebutkan
bahwa 59% penderita kanker anak adalah leukimia dan sebagian besar dari
penderita kanker ini tinggal di Daerah Aliran Sungai Brantas (termasuk Kali
Surabaya dan Kali Mas). Jenis Kanker lainnya yang umum diderita Anak yang
tinggal di Bantaran Kali adalah kanker syaraf (neuroblastoma), Kanker kelenjar
getah bening (Limfoma), kanker ginjal (tumor wilms), dan Kanker Mata.
Ancaman serius ini harus memicu peran aktif Pemerintah dalam
mengendalikan pencemaran domestik, karena dibandingkan dengan Limbah cair
industri, penanganan sumber limbah domestik sulit untuk dikendalikan karena
sumbernya yang tersebar. Upaya yang dimaksudkan bukan penyuluhan kepada
masyarakat untuk tidak membuang tinja atau deterjen kesungai, tetapi lebih
kepada mengarahkan industri-industri kita untuk menerapkan cleaner production
(industri yang berwawasan lingkungan) dengan menerapkan pengolahan limbah dan
menghasilkan produk-produk ramah lingkungan.
Sebagai konsumenpun masyarakat pemakai detergen juga harus
berani memilih dengan menggunakan produk-produk yang dihasilkan oleh industri
yang telah memiliki predikat hijau, predikat hijau ini diberikan oleh Kantor
kementrian Lingkungan Hidup dalam program Proper (Program Pentaatn Industri)
dalam program ini diberikan predikat emas untuk industri yang menerapkan
industri bersih, predikat Hijau untuk industri yang telah mengelolah limbahnya
dan telah mengembangkan community development bagi masyrakat sekitar, predikat
biru, Predikat Merah dan Predikat hitam bagi industri yang menimbulkan
kerusakan lingkungan.
Dengan memilih produk-produk dari industri berpredikat hijau
berarti kita juga ikut serta dalam menjaga kualitas lingkungan.
Demikian artikel tentang Macam-macam Limbah dan Bahaya Limbah semoga bermanfaat.